Minggu, 02 Mei 2010

Ahli Fiqih Jadi Maling

Ahli Fiqih Jadi Maling
Suatu malam, seorang Qadli Anthokia pergi ke sawahnya. Di tengah perjalanan tiba-tiba ia dihadang maling, “Serahkan semua yang engkau miliki! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu!”
“Semoga Allah  menolongmu. Aku adalah Qadhi negeri ini, karena itu lepaskan aku,”
“Alhamdulillah, karena Allah telah memberi kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali kondisinya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatu pun,” jawab si maling. “Menurutku, kamu ini orang yang berilmu,” selidik Qadhi
“Benar, sebab di atas setiap orang yang alim ada yang lebih alim,”
“Kalau begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah , ‘Dien itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid’ah), maka atasnya laknat Allah.’ Maka, merampok adalah perbuatan bid’ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini,” kata Qadhi mengingatkan
“Wahai tuan Qadhi, ini hadits Mursal, periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi’ atau pun Ibn Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si maling yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan keseharian dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan tanggungannya dengan harta orang selainnya, bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku.”
“Kalau memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu agar singgah ke penginapan untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini,” kata Qadhi.
“Tidak mungkin, tidak mungkin! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan.”
“Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu,” kata Qadhi mempertegas.
“Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibn Umar bahwa Rasulullah  bersabda, ‘Sumpah orang yang terpaksa tidak berlaku.’ Allah  berfirman, ‘Kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan.’ Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu.!” tegas si maling seakan tidak mau berkompromi.
Maka, sang Qadhi pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan celananya. Lalu si maling berkata, “Serahkan juga celana itu”
“Sesungguhnya sekarang sudah waktunya salat padahal Rasulullah  bersabda, ‘Celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.’ Sekarang ini, sudah waktunya salat sementara orang yang telanjang tidak boleh salat sebab Allah berfirman, ‘Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.’ sang Qadhi mulai berargumentasi.
“Adapun mengenai salat kamu itu, hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibn Umar; Rasulullah  bersabda, ‘Orang-orang yang bertelanjang melakukan salat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah.’ Malik berkata, ‘Mereka tidak boleh salat dengan berdiri tetapi salat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ‘mereka salat dengan duduk.’ Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna ‘memandang dengan syahwat.’ Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya? Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Qadhi tidak berlaku,” sanggah si maling
“Kalau begitu, kamulah Qadhi sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang, kamulah Ahli Fiqih sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini.”
Lalu si maling mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadhi masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya.

Disarikan dari Mi`ah Qishsshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, juz.II, hal.62-65)oleh Saiful Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar