Senin, 07 Juni 2010

Doa Insomnia

Doa Insomnia



Sujud malamku...
Semaikan senyum tuk tidurmu...

Doaku,...
tuk teduh mimpimu...
Damailah malam saat rebahmu...

Karena, seribu jejak yang kupijak...
Ratusan garis yang kugores...
Jutaan kata yang kudoa...
Mengingatkanku pada negerimu...
Mengais mimpi di malammu...
Menyepuh pekat dengan getar-getar rindu...

Di sini, aku ada untukmu...
Kusatukan munajat demi bahagiamu...

Kuharap malam ini ada tenangmu...
Kuingin saat ini damaimu...
Yang kupinta detik ini bahagiamu...
Pagutlah cemerlang mimpi di batas hatimu...

Percayalah,..
aku selalu gelisah,...
bila tidurmu diselimuti gundah...

Karena di pagi yang masih basah...
aku mau suaramu mengapung di udara...
menghiasi bulir-bulir embun pagi yang tersisa ...

Dari sudut hati terdalam,...
kubingkai cita yang masih tenggelam...

"Wallahu a'lam bi as-Shawab"

Kamis, 13 Mei 2010

Rahasia Cinta di Kala Senja

Rahasia Cinta di Kala Senja

“Sahabatku, saat lembayung menguning di beberapa hari dalam perjalanan hidupku. Seperti hari-hari sebelumnya di waktu yang hampir sama. Cukup sebagai bukti, ketulusan hatinya, kebesaran jiwanya, kesungguhan cintanya terhadapku. Tentu kau masih ingat saat menjelang hari pernikahanku. Aku begitu sulit mengungkapkan alasan kenapa mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang kami lalui, aku yang kini berkakikan roda ini sadar, keheranan yang terjadi bukan semata milikku, melainkan menjadi milik banyak orang; Abah dan Umi, adik-adik, tetangga, dan teman-teman”.

Dulu semua seakan tidak percaya atas apa yang Fajri lakukan. Entah karena apa? Tanya mereka di hari Fajri mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Fajri sedang duduk di kantin dekat pengadilan agama menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di pengadilan mulai sepi. Berpasang-pasang mata membidik gadis ayu itu. Tiba-tiba saja pipi Fajri bersemu merah, lalu matanya berpijar. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitasnya. Mulut Fajri terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tidak punya kata-kata.

Dulu wanita berwajah teduh itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di pengadilan agama adalah kali kedua Fajri yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi saat Fajri menyampaikan keinginan Saifi untuk menghithbahnya. Arisan keluarga Fajri dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab Adik-Adik sepupunya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

“Kamu pasti bercanda!”
Fajri kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah adik pertama, disusul senyum serupa dari adik nomor dua, tiga, dan terakhir dari Abah dan Umi membuat Fajri menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Fajri bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Fajri yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Fajri!
Fajri serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Saifi memang melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Abah tegas, Abah hanya tidak mengira Saifi berani melamar anak Abah yang paling cantik!

Fajri tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Abah barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Fajri tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Fajri tidak serius dengan Saifi, kan? Umi mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Umi siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh? Fajri terkesima. Kenapa?
Sebab kamu gadis Abah yang paling cantik. Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi. Suaramu bagus! Masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar S1. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Fajri sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau.

Fajri memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Abah, Adik-Adik, dan terakhir Umi. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Fajri lontarkan. Fajri cuma mau Saifi , sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Saifi. Ketidaksukaan yang mencapai puncak klimaks stadium empat. Parah. Tapi kenapa?

Sebab Saifi cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat rendah. Bergantian tiga saudara Fajri mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Kak Fajri! Cukup!

Fajri menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya, Fajri lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Saifi. Barangkali karena Fajri memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Saifi tampak 'luar biasa'. Fajri cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Fajri menapaki hidup hingga umur 24 tahun. Dan nalurinya menerima Saifi. Di sampingnya Fajri yakin akan bahagia. Mereka akhirnya menikah.

***
Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Fajri, apa sebenarnya yang dia lihat dari Saifi. Fajri masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Saifi agar tampak di mata mereka. Fajri hanya merasakan cinta begitu besar dari Saifi, begitu besar hingga Fajri bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Fajri. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Saifi pada Fajri. Nada suara Fajri tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudara Fajri hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Fajri, siapapun akan mudah mencintai gadis secantik kamu! Kamu kakak kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu kakak kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Fajri merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Saifi. Beberapa lama keempat kakak dan adik itu beradu argumen.

“Tapi Saifi juga tidak bodoh, dik!”
“Betul. Tapi dia juga tidak cemerlang kan?”
“Saifi juga pintar!”
“Tidak sepintar kakak.”
“Saifi juga sukses, pekerjaannya lumayan.”
“Hanya lumayan, Kak. Bukan sukses. Tidak sepertimu.”

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan Adik-Adiknya, bahwa kakak mereka beruntung mendapatkan suami seperti Saifi. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Kak. Lalu lihat Saifi! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya adik-adik Fajri mengatakan itu semua. Padahal kakak mereka sudah menikah dan sebentar lagi juga punya anak.

Menginjak tahun keenam pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Fajri dan Saifi sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Saifi bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Fajri lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Fajri memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Fajri cukup, maksud Fajri jika digabungkan dengan gaji Abang.
Fajri tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap maksud baik. Sebaiknya Fajri tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Fajri dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Fajri cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki yang taraf hidupnya lebih rendah, dari keluarga menengah ke bawah, dengan pendidikan di bawahnya, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Fajri. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Pada medio tahun keenam pernikahan, posisi Fajri di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Fajri besar, anak-anak mereka pintar dan lucu, dan Fajri memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada masa kekemasan!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Fajri dan Saifi melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Fajri, bisik Abah dan Umi.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? Dan kaya! Tak seimbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Fajri belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesebelas pernikahan, hidup Fajri masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Fajri mengandung yang keempat. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Saifi melukai hati Fajri, atau membuat Fajri menangis.

Pada saat itu Farji kembali berbadan dua. Sepertinya bayi yang dikandung hampir keluar. Dengan sigap Saifi segera mengeluarkan mobil yang sedikit kusam dari bagasi, karena sudah lewat satu minggu tidak dikeluarkan. Dengan penuh perhatian dia membopong istrinya yang tampak kesakitan ke dalam mobil.

Dalam suasana mental yang kurang kondusif Saifi memacu kencang mobilnya. Seakan ia turut merasakan sakit yang dibawa istrinya. Tiba-tiba dari arah depan sebuah mobil Suzuki Inova dengan kecepatan tinggi tinggal beberapa mili meter beradu dengan mobilnya. Hampir saja Saifi tidak dapat menguasai laju mobil. Kemudian terdengar benturan keras dari arah belakang agak ke kanan tempat sandaran istrinya. Tercium bau anyir dalam ruang mobil ber AC itu.

Fajri tak sadarkan diri, kepalanya mengalami benturan, kakinya terjepit ringsekan pintu belakang mobil. Saifi panik, untungnya banyak yang berhambur turut menolong. Dengan sigap pula Saifi dan istrinya diantar ke rumah sakit.

Seorang dokter yang menangani Fajri mengungkapkan, “Plasenta istri kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan setempat memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Fajri. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil. Tapi sangat disayangkan Fajri masih tidak sadarkan diri.
Saifi tidak beranjak dari sisi tempat tidur Fajri di rumah sakit. Hanya waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara adik-adik serta orangtua Fajri belum satu pun yang datang.

Lebih sayang lagi, saat Fajri mulai siuman, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Fajri tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit yang melilit dirasakan Fajri per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan. Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Fajri dan Saifi berpandangan. Fajri tetap tegar meski ia harus merasakan sakit yagng berlipat: karena bayi tidak segera keluar, juga pengaruh obat bius yang diberikan saat patah tulang kakinya disembuhkan mulai pudar.

Tigapuluh jam berlalu. Fajri baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak! Saifi tercengang. Cemas. Fajri tidak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tidak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang?
Saifi termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter?
Kita operasi, Fajri. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Saifi dan Fajri berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Fajri berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Saifi tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi.
Pembiusan dilakukan, Fajri digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya, hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Fajri merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak.

Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Saifi bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Saifi dan keluarga Fajri mendekat. Pendarahan hebat!
Saifi membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Fajri dalam kondisi kritis.

Umi Fajri yang baru tiba, menangis. Abah termangu lama sekali. Saudara-saudara Fajri menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Saifi seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Fajri. Sudah seminggu lebih Fajri koma. Selama itu Saifi bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Fajri dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Umi, Abah, dan ketiga saudara Fajri terkadang ikut menunggui Fajri di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tidak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Fajri dengan Saifi .

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Saifi bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Saifi terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Saifi menjaga Fajri siang dan malam. Dibawanya sebuah al-Qur’an kecil, dibacakannya dekat telinga Fajri yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Saifi percaya meskipun tidak mendengar, Fajri bisa merasakan kehadirannya. Fajri, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Sebelas hari berlalu, pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Saifi masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Fajri sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Fajri ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, Fajri, bangun, Cinta?

Masa-masa penantian dilewatkan Saifi dalam sujud dan permohonan. Asalkan Fajri sadar, yang lain tidak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Fajri, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Saifi.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Fajri. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Saifi tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tidak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Fajri lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Fajri sudah tidur terlalu lama. Pada hari empatpuluh satu, doa Saifi terjawab. Fajri sadar dan wajah penat Saifi adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Saifi menangis, menggenggam tangan Fajri dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Fajri sadar, semua tak penting lagi. Saifi membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Fajri selama dua tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Fajri, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Fajri ke teras, melihat senja datang sambil memangku Fajri seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam, Saifi mendandani Fajri agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Fajri selalu merasa cantik. Meski seringkali Fajri mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Saifi dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Fajri, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Saifi.
Setiap hari libur Saifi mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Fajri. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Fajri harus ikut. Anak-anak, seperti juga Saifi , melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Fajri.

Awalnya tentu Fajri sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Saifi yang berkeringat mendorong kursi roda Fajri ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Fajri menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Fajri tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua! Fajri beruntung!

Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari Adiknya yang tiga orang, Abah dan Umi.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Fajri makin frustrasi, merasa tidak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Fajri menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Fajri menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Tida belas tahun pernikahan. Fajri menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tidak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Guliran waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa seorang laki-laki yang dianggap semua mata kurang bersahaja tak pernah ditelan masa dan keindahan pandangan mata, untuk Fajri yang saat usia remajanya menjadi idola, bergelimang prestasi, dan menjadi dambaan tiap lelaki.

Cerita Fajri kepada seorang sahabat yang menjenguknya sebelum senja. Seperti biasanya, saat sang Surya hampir bersembunyi, Saifi datang membopongnya untuk melihat indahnya sinar keemasan.

Jumat, 07 Mei 2010

Malam Menanti

Malam Menanti

Malam ini…
Begitu sepi,
sunyi...
hanya secangkir kopi
sebatang rokok juga korek api…

Malam kian larut…
sorak insan redup
hati kian kalut
resah dan gundah
tak temukan arah...

Di mana sosok yang kucari…
ke mana khayal berlari…
kenapa semuanya pergi
jiwaku dilanda sepi..sunyi..
sendiri dan menanti...

Harapan merekah, memerah
mungkin juga cepat berguguran...
tebarkan senyum kemenangan

Tinggal aku
dengan perasaan malu
lalu berlalu
jika kau tak pedulikanku
tanpa merajuk
apalagi merayu...

Dalam kesunyian malam
aku bercanda dalam diam
berharap dalam senyuman
sebelum doa mulai kupanjatkan

Sebelumnya
biarkan aku bercengkerama, berpesta
tanpa suara…
tanpa bicara
biar lebih bermakna...

fajar masih terpulas
insan mendengkur dalam pakaian bekas
tergeletak dalam buaian kelam

hati ini masih menanti
jiwa ini sunyi
sepi…sendiri..
hanya secangkir kopi…
sebatang rokok
juga korek api...

Entah apa jawaban hati
Aku tawakkal kepada-Mu ya Ilahi...

Malang, 24 Jumadal Ula 1431 H

Mengapa?

Mengapa?

Mengapa ada dusta,
bila cita dan asa sama

Mengapa ada dengki,
jika satu tujuan yang kan kita gapai

Mengapa tercipta rahasia,
bila titian kita berpangkal tiada beda

Mengapa tersodorkan mufakat,
jika dari belakang tertancap opsi hianat

Mengapa harus bersembunyi,
bila kejujuran dijunjung tinggi

Mengapa sisakan diam,
jika di balik tirai bercerita muram

Mengapa terucap kata setuju,
bila terkubur kerja sama tuk maju

Mengapa bibir bungkam,
jika kemelut jiwa tiada tentram

Mengapa ada kebohongan,
bila ingin ketentraman

Mengapa dulu membenci,
jika dilakukan kini

Mengapa harus merendah,
bila hanya topeng belaka

Mengapa lagak khumul,
jika fiksi dari mulut selalu timbul

Mengapa ingin merendah,
bila bicara itu tiada reda

Mengapa salahkan orang lain,
jika tak berani ungkap kesalahan diri

Mengapa kau ingkar
Mengapa kau culas
Mengapa kau acuh
Mengapa kau ragu

Tak mau apa adanya
Tak biarkan nurani bicara
Tak cega kebohongan berkuasa
Tak hendak rasa angkuh kau binasa

Yang ada dalam benak hanya sedu sedan
Rintihan diri tiada nian
Hingga sesalku
akan yang kini bersemayam di hatimu

Minggu, 02 Mei 2010

Ahli Fiqih Jadi Maling

Ahli Fiqih Jadi Maling
Suatu malam, seorang Qadli Anthokia pergi ke sawahnya. Di tengah perjalanan tiba-tiba ia dihadang maling, “Serahkan semua yang engkau miliki! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu!”
“Semoga Allah  menolongmu. Aku adalah Qadhi negeri ini, karena itu lepaskan aku,”
“Alhamdulillah, karena Allah telah memberi kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali kondisinya lemah, faqir dan tidak mendapatkan sesuatu pun,” jawab si maling. “Menurutku, kamu ini orang yang berilmu,” selidik Qadhi
“Benar, sebab di atas setiap orang yang alim ada yang lebih alim,”
“Kalau begitu, apa katamu tentang hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah , ‘Dien itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-Sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid’ah), maka atasnya laknat Allah.’ Maka, merampok adalah perbuatan bid’ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini,” kata Qadhi mengingatkan
“Wahai tuan Qadhi, ini hadits Mursal, periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi’ atau pun Ibn Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si maling yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan keseharian dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan tanggungannya dengan harta orang selainnya, bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku.”
“Kalau memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu agar singgah ke penginapan untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini,” kata Qadhi.
“Tidak mungkin, tidak mungkin! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan.”
“Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu,” kata Qadhi mempertegas.
“Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibn Umar bahwa Rasulullah  bersabda, ‘Sumpah orang yang terpaksa tidak berlaku.’ Allah  berfirman, ‘Kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan.’ Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu.!” tegas si maling seakan tidak mau berkompromi.
Maka, sang Qadhi pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan celananya. Lalu si maling berkata, “Serahkan juga celana itu”
“Sesungguhnya sekarang sudah waktunya salat padahal Rasulullah  bersabda, ‘Celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.’ Sekarang ini, sudah waktunya salat sementara orang yang telanjang tidak boleh salat sebab Allah berfirman, ‘Ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid.’ sang Qadhi mulai berargumentasi.
“Adapun mengenai salat kamu itu, hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibn Umar; Rasulullah  bersabda, ‘Orang-orang yang bertelanjang melakukan salat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah.’ Malik berkata, ‘Mereka tidak boleh salat dengan berdiri tetapi salat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ‘mereka salat dengan duduk.’ Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna ‘memandang dengan syahwat.’ Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya? Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Qadhi tidak berlaku,” sanggah si maling
“Kalau begitu, kamulah Qadhi sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang, kamulah Ahli Fiqih sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini.”
Lalu si maling mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadhi masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya.

Disarikan dari Mi`ah Qishsshah Wa Qishshah Fii Aniis ash-Shaalihiin Wa Samiir al-Muttaqiin karya Muhammad Amin al-Jundy, juz.II, hal.62-65)oleh Saiful Anwar

JAWABAN PALING TEPAT

SATU TAMPARAN MENJAWAB TIGA PERTANYAAN
Seorang murid bertanya kepada gurunya, “Ada tiga pertanyaan yang mengganjal di pikiranku, dan menurutku ini adalah petanyaan yang cukup sulit” Ungkapnya. “Silakan tanya saja, Insya-Allah, saya coba membantu.” Sambut sang guru. “Baiklah. Pertama, jika Allah  itu memang ada, tolong tunjukkan wujudnya. Kedua, apakah takdir itu? Dan ketiga, kalau syetan diciptakan dari api, tetapi mengapa Allah  menyiksa dengan memasukkannya ke dalam neraka yang juga terbuat dari api?”
Sampai di situ, sang guru langsung menampar pipi muridnya dengan keras. “Itulah jawaban dari semua pertanyaan kamu.” Kata guru. “Maksudnya?” “Bagaimana tamparan saya? Sakit?” “Tentu saja” “Jadi kamu percaya dengan adanya sakit?” “Itukan biasa.” “Sekarang tunjukkan wujud sakit itu.” Si murid diam. “Itulah jawaban atas pertanyaan kamu yang pertama. Allah itu ada. Bukti-buktinya terasa. Hanya kita tidak mampu melihatnya. Sebelumnya, apakah kamu bermimpi atau setidaknya memperkirakan bahwa hari ini kamu kena tampar?” Sang murid menggeleng. “Itulah takdir. Selanjutnya pipi kamu dilapisi apa?” “Kulit.” “Tangan ini?” “Kulit.” “Itulah jawaban pertanyaan kamu yang ketiga.”

Dikutip dari dari tulisan Muhammad Zaha al-Farisi dalam bukunya “Like Father Like Son”

Jumat, 30 April 2010

Siapkan Generasi Handal

Siapkan Generasi Handal;
Dari Penanaman Mental
*Saiful Anwar

Tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya kelak jadi orang celaka. Apalagi sampai hidup menderita di dunia dan akhiratnya. Tentu orang tua selalu berharap keturunnya bisa meraih kemuliaan dan menjunjung tinggi martabat keluarga. Karena anak adalah buah hati belahan jantung, penerus cerita dan penyambung sejarah kehidupan orang tuanya. Mana mungkin ia ingin mencoreng sejarah keluarganya dengan menjerumuskan anaknya pada lembah kenistaan.
Semua orang tua—dalam skala mayoritas—memiliki harapan besar pada anak-anaknya. Berbagai cara mereka lakukan demi melindungi anaknya agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Limpahan kasih sayang mereka curahkan, berbagai cara mendidik mereka terapkan, untuk menggiring anaknya menuju bahtera hidup bahagia di masa depan.
Namun sangat disayangkan, banyak harapan orang tua bertepuk sebelah tangan. Buah hati yang digadang-gadang menjadi penerus keharuman sejarah keluarganya, justru merobohkan sendi-sendi kekokohan martabatnya. Bahkan tidak sedikit orang tua yang menahan malu akan tingkah laku dan nasib anaknya. Kenapa keadaan paradoksal ini sering terjadi? Siapakah yang harus disalahkan? Dan bagaimana solusinya?
Tentu banyak elemen yang mempengaruhi berbagai kegagalan tersebut. Namun disini, penulis mencoba untuk mengetengahkan sesuatu yang sangat menentukan bagi anak dalam melangkah pada fase berikutnya. Agar sebelum menapakkan kaki pada kehidupan yang lebih menantang, mereka telah memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar.
Oleh karena itu, orang tua sebagai orang terdekat bagi anaknya sendiri, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan watak dan prinsip yang kelak tertanam kuat pada jiwa keturunannya. Orang tua dalam mendidik anaknya, hendaknya bersabar dan telaten serta tidak mudah terbawa emosi apalagi sampai menampakkan perbuatan yang tidak patut ditiru oleh mereka.
Yang dimaksud pendidikan orang tua tersebut adalah pendidikan di usia dini, sebelum anak mencapai usia baligh. Karena pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bersih, hingga berbagai memori kejelekan lambat laun membekas pada hatinya dan kemudian menjadi watak yang sulit disterilkan. Mengenai hal ini Imam al Ghazali pernah mengungkapkan, “Anak itu amanah Tuhan bagi kedua orang tuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambaran. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik, ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya, semua gurunya, pengajar dan pendidik sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan kejelekan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya akan menimpa pengasuh dan orangtuanya.”
Oleh karena itu, orang tua sebagai penanam prinsip pertama pada anak-anaknya hendaknya jeli dan hati-hati dalam mendidik mereka. Jangan sampai hati anak yang masih bersih kerasukan sifat-sifat yang akan menjadikan memori mereka dipenuhi dengan perkara-perkara buruk. Bahkan, menjauhkan mereka dari tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tidak dapat dipungkiri, kebanyakan anak akan mengaca pada orang tuanya. Ingatan mereka sangat tajam, apa yang dikatakan orang tua akan tertancap kuat dalam hatinya. Sebagaimana sebuah syiar yang ditulis Drs. Jalaluddin Rahmat dalam buku Psikologi Komunikasi:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Dari sini, orang tua dihadapkan pada pilihan dalam menentukan karakter anak di masa depan. Namun sebelum itu, orang tua harus paham akan cita-cita dan kesenangan anak, karena bakat dan potensi mereka amat beragam. Dan tentunya metode yang diterapkan juga berbeda. Perbedaan yang dimiliki anak di sini diharapkan difahami orang tua sejak dini, agar tidak terjadi kesalahan dalam pendikan.