Siapkan Generasi Handal;
Dari Penanaman Mental
*Saiful Anwar
Tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya kelak jadi orang celaka. Apalagi sampai hidup menderita di dunia dan akhiratnya. Tentu orang tua selalu berharap keturunnya bisa meraih kemuliaan dan menjunjung tinggi martabat keluarga. Karena anak adalah buah hati belahan jantung, penerus cerita dan penyambung sejarah kehidupan orang tuanya. Mana mungkin ia ingin mencoreng sejarah keluarganya dengan menjerumuskan anaknya pada lembah kenistaan.
Semua orang tua—dalam skala mayoritas—memiliki harapan besar pada anak-anaknya. Berbagai cara mereka lakukan demi melindungi anaknya agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Limpahan kasih sayang mereka curahkan, berbagai cara mendidik mereka terapkan, untuk menggiring anaknya menuju bahtera hidup bahagia di masa depan.
Namun sangat disayangkan, banyak harapan orang tua bertepuk sebelah tangan. Buah hati yang digadang-gadang menjadi penerus keharuman sejarah keluarganya, justru merobohkan sendi-sendi kekokohan martabatnya. Bahkan tidak sedikit orang tua yang menahan malu akan tingkah laku dan nasib anaknya. Kenapa keadaan paradoksal ini sering terjadi? Siapakah yang harus disalahkan? Dan bagaimana solusinya?
Tentu banyak elemen yang mempengaruhi berbagai kegagalan tersebut. Namun disini, penulis mencoba untuk mengetengahkan sesuatu yang sangat menentukan bagi anak dalam melangkah pada fase berikutnya. Agar sebelum menapakkan kaki pada kehidupan yang lebih menantang, mereka telah memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar.
Oleh karena itu, orang tua sebagai orang terdekat bagi anaknya sendiri, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan watak dan prinsip yang kelak tertanam kuat pada jiwa keturunannya. Orang tua dalam mendidik anaknya, hendaknya bersabar dan telaten serta tidak mudah terbawa emosi apalagi sampai menampakkan perbuatan yang tidak patut ditiru oleh mereka.
Yang dimaksud pendidikan orang tua tersebut adalah pendidikan di usia dini, sebelum anak mencapai usia baligh. Karena pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bersih, hingga berbagai memori kejelekan lambat laun membekas pada hatinya dan kemudian menjadi watak yang sulit disterilkan. Mengenai hal ini Imam al Ghazali pernah mengungkapkan, “Anak itu amanah Tuhan bagi kedua orang tuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambaran. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik, ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya, semua gurunya, pengajar dan pendidik sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan kejelekan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya akan menimpa pengasuh dan orangtuanya.”
Oleh karena itu, orang tua sebagai penanam prinsip pertama pada anak-anaknya hendaknya jeli dan hati-hati dalam mendidik mereka. Jangan sampai hati anak yang masih bersih kerasukan sifat-sifat yang akan menjadikan memori mereka dipenuhi dengan perkara-perkara buruk. Bahkan, menjauhkan mereka dari tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tidak dapat dipungkiri, kebanyakan anak akan mengaca pada orang tuanya. Ingatan mereka sangat tajam, apa yang dikatakan orang tua akan tertancap kuat dalam hatinya. Sebagaimana sebuah syiar yang ditulis Drs. Jalaluddin Rahmat dalam buku Psikologi Komunikasi:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Dari sini, orang tua dihadapkan pada pilihan dalam menentukan karakter anak di masa depan. Namun sebelum itu, orang tua harus paham akan cita-cita dan kesenangan anak, karena bakat dan potensi mereka amat beragam. Dan tentunya metode yang diterapkan juga berbeda. Perbedaan yang dimiliki anak di sini diharapkan difahami orang tua sejak dini, agar tidak terjadi kesalahan dalam pendikan.
Jumat, 30 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar