Suatu malam di suatu peristiwa, saat harapan terdepak oleh buai renungan. Terlintas dalam guliran waktu, kisah nyata di kehidupanku. Diiringi tembang kenangan Ebit G Ade, terasa semakin menderu ingatanku akan sosok ayah yang kucinta. Kini beliau terbaring lunglai di atas dipan tua. Betapa besar pengorbanannya: untuk ibu, aku, dan saudara-saudariku serta adik-adiknya. Begitu tulus kasih sayang dan perjuangannya.
Beliau ingin anak-anaknya kelak—terutama aku—mampu meneruskan sejarahnya, menyambung ceritanya yang sampai kini masih berada di medio naskah. Keinginannnya belum sampan berdayung, belum rampung niatan tulusnya. Semua itu, karena kami anak-anaknya terlalu banyak permintaan, terlalu tamak berkeinginan. Memang jika ditelusuri lebih dalam semua adalah misteri Ilahi, manusia hanya mampu berencana dan berusaha.
Ayah adalah pekerja keras. Dia membangun segala ketentraman dan kecukupan di rumah ini dari nol di titik nadzir hingga menjadi seperti saat ini. Sesuatu yang kami rasa sudah lebih dari cukup dan sangat membahagiakan.
Aku merasa sangat berdosa ketika teringat ayahku pulang kerja dengan bulir-bulir peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Bukan sambutan ramah dan salam takdim yang aku berika, apalagi secangkir teh hangat, melainkan rengekan untuk dibelikan ini dan itu.
Sabtu, 24 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar