Rabu, 28 April 2010

Uswah Sang Pemimpin

Pemimpin Zuhud
*Saiful Anwar

Suatu ketika, Abu Bakar r.a. pergi ke pasar hendak menjual beberapa kain dagangannya. Saat itu beliau belum lama dibaiat menjadi khalifah. Di tengah perjalanan, beliau berjumpa dengan Umar ra. Umar pun menyapa, “Wahai Abu Bakar, engkau mau kemana?”
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata, “Jika engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan Kekhilafahan?”
Abu Bakar balik bertanya, “Kalau begitu, bagaimana aku menafkahi istri dan anakku?”
“Kalau begitu, mari kita menemui Abu Ubaidah. Dia akan menetapkan santunan untukmu dari Baitul Mal,” kata Umar.
Keduanya lalu pergi menemui Abu Ubaidah. Abu Ubaidah kemudian menetapkan santunan (bukan gaji, pen.) dari Baitul Mal sekadar memenuhi kebutuhan dasar Abu Bakar dan keluarganya untuk setiap bulannya.
Suatu ketika, istri Abu Bakar memohon kepada beliau, “Saya ingin sekali manisan.”
Beliau menjawab, “Aku tidak punya uang untuk membelinya.”
“Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit dari uang belanja tiap hari sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul,” kata istrinya.
Abu Bakar pun mengizinkannya. Selang beberapa hari, uang terkumpul. Istrinya lalu menyerahkan uang itu kepada beliau untuk membeli bahan-bahan manisan. Beliau kemudian berkata, “Dari pengalaman ini, aku tahu, ternyata kita mendapatkan santunan berlebihan dari Baitul Mal.”
Akhirnya, uang yang sudah terkumpul itu pun dikembalikan oleh beliau ke Baitul Mal, tidak jadi dibelikan bahan-bahan manisan. Selanjutnya, Khalifah Abu Bakar meminta Baitul Mal agar memotong santunannya sebanyak yang pernah dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Tak kalah dengan pendahulunya, Abu Bakar, Umar ra.—ketika menjadi khalifah dan mendapatkan santunan dari Baitul Mal—adalah seorang pemimpin yang sangat zuhud dan wara’.
Suatu ketika, beberapa Sahabat ra., di antaranya Ali, Utsman, Zubair, dan Thalhah berkumpul dalam suatu majelis untuk membincangkan usulan agar tunjangan untuk Khalifah Umar bin al-Khaththab ditambah, karena sepertinya tunjangan itu terlalu kecil. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang berani mengusulkan hal itu kepada Umar ra. Akhirnya, mereka bersepakat untuk meminta bantuan Hafshah, salah seorang istri Nabi saw., yang tidak lain adalah putri Khalifah Umar ra. Ummul Mukminin Hafshah kemudian menyampaikan usul tersebut kepada ayahnya, Umar ra. Mendengar itu, Khalifah Umar ra. bukannya senang; beliau tampak marah. Beliau berkata, “Siapa yang telah mengajukan usulan itu. Seandainya aku tahu nama-nama mereka, aku akan memukul wajah-wajah mereka!”
Khalifah Umar ra. kemudian berkata, “Sekarang, ceritakan kepadaku pakaian Nabi saw. yang paling baik yang ada di rumahmu.”
“Beliau memiliki sepasang pakaian berwarna merah yang dipakai setiap hari Jumat dan ketika menerima tamu,” jawab Hafshah.
Umar bertanya lagi, “Makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasulullah saw. di rumahmu?”
“Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak…,” jawab Hafshah.
“Alas tidur apa yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah saw. di rumahmu?” tanya Umar lagi.
“Sehelai kain, yang pada musim panas dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh untuk alas tidurnya dan separuh lagi untuk selimut,” jawab Hafshah lagi.
Khalifah Umar ra. lalu berkata, “Sekarang, pergilah. Katakan kepada mereka, Rasulullah saw. telah mencontohkan pola hidup sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi meraih kebahagiaan akhirat. Aku tentu akan mengikuti teladan beliau….”
Dua fragmen di atas, jika dibayangkan pada masa kini, di tengah-tengah sistem kehidupan sekular dan serba materialistis, rasanya mustahil terjadi. Namun, itulah yang pernah terjadi dalam sejarah ketika kehidupan Islam diterapkan; ketika sistem pemerintahan Islam ditegakkan; dan ketika syariat dan nilai-nilai Islam diamalkan oleh para penguasa Muslim. Bahkan, dalam sejarah pemerintahan Islam, kehidupan zuhud sering menjadi pilihan para khalifah kaum Muslim. Ingat, mereka adalah para kepala Negara Islam, yang mewarisi wilayah kekuasaan yang sangat luas. Selama masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin saja, wilayah kekuasaan Islam adalah mencakup seluruh Jazirah Arab dan sebagian Afrika. Artinya, kalau mau, sangat mudah bagi khalifah manapun, dengan kekuasaan yang sangat besar itu, bergelimang dalam kemewahan. Namun, kehidupan zuhud justru menjadi pilihan utama umumnya para khalifah kaum Muslim yang salih.

Disarikan dari kitab ath-Thabaqat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar