Siapkan Generasi Handal;
Dari Penanaman Mental
*Saiful Anwar
Tidak ada orang tua yang mengharapkan anaknya kelak jadi orang celaka. Apalagi sampai hidup menderita di dunia dan akhiratnya. Tentu orang tua selalu berharap keturunnya bisa meraih kemuliaan dan menjunjung tinggi martabat keluarga. Karena anak adalah buah hati belahan jantung, penerus cerita dan penyambung sejarah kehidupan orang tuanya. Mana mungkin ia ingin mencoreng sejarah keluarganya dengan menjerumuskan anaknya pada lembah kenistaan.
Semua orang tua—dalam skala mayoritas—memiliki harapan besar pada anak-anaknya. Berbagai cara mereka lakukan demi melindungi anaknya agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Limpahan kasih sayang mereka curahkan, berbagai cara mendidik mereka terapkan, untuk menggiring anaknya menuju bahtera hidup bahagia di masa depan.
Namun sangat disayangkan, banyak harapan orang tua bertepuk sebelah tangan. Buah hati yang digadang-gadang menjadi penerus keharuman sejarah keluarganya, justru merobohkan sendi-sendi kekokohan martabatnya. Bahkan tidak sedikit orang tua yang menahan malu akan tingkah laku dan nasib anaknya. Kenapa keadaan paradoksal ini sering terjadi? Siapakah yang harus disalahkan? Dan bagaimana solusinya?
Tentu banyak elemen yang mempengaruhi berbagai kegagalan tersebut. Namun disini, penulis mencoba untuk mengetengahkan sesuatu yang sangat menentukan bagi anak dalam melangkah pada fase berikutnya. Agar sebelum menapakkan kaki pada kehidupan yang lebih menantang, mereka telah memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar.
Oleh karena itu, orang tua sebagai orang terdekat bagi anaknya sendiri, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan watak dan prinsip yang kelak tertanam kuat pada jiwa keturunannya. Orang tua dalam mendidik anaknya, hendaknya bersabar dan telaten serta tidak mudah terbawa emosi apalagi sampai menampakkan perbuatan yang tidak patut ditiru oleh mereka.
Yang dimaksud pendidikan orang tua tersebut adalah pendidikan di usia dini, sebelum anak mencapai usia baligh. Karena pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bersih, hingga berbagai memori kejelekan lambat laun membekas pada hatinya dan kemudian menjadi watak yang sulit disterilkan. Mengenai hal ini Imam al Ghazali pernah mengungkapkan, “Anak itu amanah Tuhan bagi kedua orang tuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambaran. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik, ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya, semua gurunya, pengajar dan pendidik sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan kejelekan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya akan menimpa pengasuh dan orangtuanya.”
Oleh karena itu, orang tua sebagai penanam prinsip pertama pada anak-anaknya hendaknya jeli dan hati-hati dalam mendidik mereka. Jangan sampai hati anak yang masih bersih kerasukan sifat-sifat yang akan menjadikan memori mereka dipenuhi dengan perkara-perkara buruk. Bahkan, menjauhkan mereka dari tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tidak dapat dipungkiri, kebanyakan anak akan mengaca pada orang tuanya. Ingatan mereka sangat tajam, apa yang dikatakan orang tua akan tertancap kuat dalam hatinya. Sebagaimana sebuah syiar yang ditulis Drs. Jalaluddin Rahmat dalam buku Psikologi Komunikasi:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Dari sini, orang tua dihadapkan pada pilihan dalam menentukan karakter anak di masa depan. Namun sebelum itu, orang tua harus paham akan cita-cita dan kesenangan anak, karena bakat dan potensi mereka amat beragam. Dan tentunya metode yang diterapkan juga berbeda. Perbedaan yang dimiliki anak di sini diharapkan difahami orang tua sejak dini, agar tidak terjadi kesalahan dalam pendikan.
Jumat, 30 April 2010
Kamis, 29 April 2010
Sikapmu Sekarang Menentukan Nasibmu di Masa Mendatang
Karma
*Saiful Anwar
Dikutip dari kitab Juz ad-Duûri bab Ahkâmu ash-Shibyân”: Dari Zaid bin Abbas bin Aslam, bahwa suatu ketika ia keluar dari masjid, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda mencekik leher orang tua. Dan ternyata yang dicekik adalah ayahnya sendiri. Orang-orang mengerumuninya. Zaid bin Aslam berkata, ‘Biarkan ia, karena aku pernah melihat orang tua ini mencekik leher ayahnya di tempat ini’.”
Badruddin bin Qadi Syuhbah berkata, “Cerita ini di dalamnya terkandung pelajaran.”
Dalam cerita lain dijelaskan bahwa Abd Malik bin Umair al-Lahmi al-Kufi berkata, “Aku melihat di istana ini—ia menunjuk istana kerajaan di Kufah—kepala Husain bin Ali di ujung perisai Ubaidillah bin Ziyad, lalu aku melihat kepala Ubaidillah bin Ziyad di ujung perisai al-Mukhtar bin Abi Ubaid bin Mas’ud, kemudian aku lihat kepala Mukhtar di ujung perisai Mush’ab, dan aku lihat kepada Mush’ab di atas ujung perisai Abd Malik bin Marwan. Aku ceritakan kejadian itu kepada Abd Malik, ia pun ciut dan meninggalkan perkumpulannya. Aku berkata, “Allah adalah sang raja di hari pembalasan.
Dijelaskan dalam Shahih Bukhari, “Al-dîn adalah balasan, baik dalam kebaikan atau kejelekan. Engkau akan di balas sesuai perbuatanmu.” Hadits ini adalah hadits Mursal, dan râwinya terpercaya.
-Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ...Balasan kejelekan adalah kejelekan pula...
-Ahli fikih menyatakan, “Dunia adalah hutang yang harus ditebus.”
-Kalangan sufi mengatakan, “Yang menanam, ia adalah yang akan menuai.”
-Orang bijak berkata, “Hukum karma pasti berlaku.”
*Saiful Anwar
Dikutip dari kitab Juz ad-Duûri bab Ahkâmu ash-Shibyân”: Dari Zaid bin Abbas bin Aslam, bahwa suatu ketika ia keluar dari masjid, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda mencekik leher orang tua. Dan ternyata yang dicekik adalah ayahnya sendiri. Orang-orang mengerumuninya. Zaid bin Aslam berkata, ‘Biarkan ia, karena aku pernah melihat orang tua ini mencekik leher ayahnya di tempat ini’.”
Badruddin bin Qadi Syuhbah berkata, “Cerita ini di dalamnya terkandung pelajaran.”
Dalam cerita lain dijelaskan bahwa Abd Malik bin Umair al-Lahmi al-Kufi berkata, “Aku melihat di istana ini—ia menunjuk istana kerajaan di Kufah—kepala Husain bin Ali di ujung perisai Ubaidillah bin Ziyad, lalu aku melihat kepala Ubaidillah bin Ziyad di ujung perisai al-Mukhtar bin Abi Ubaid bin Mas’ud, kemudian aku lihat kepala Mukhtar di ujung perisai Mush’ab, dan aku lihat kepada Mush’ab di atas ujung perisai Abd Malik bin Marwan. Aku ceritakan kejadian itu kepada Abd Malik, ia pun ciut dan meninggalkan perkumpulannya. Aku berkata, “Allah adalah sang raja di hari pembalasan.
Dijelaskan dalam Shahih Bukhari, “Al-dîn adalah balasan, baik dalam kebaikan atau kejelekan. Engkau akan di balas sesuai perbuatanmu.” Hadits ini adalah hadits Mursal, dan râwinya terpercaya.
-Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ...Balasan kejelekan adalah kejelekan pula...
-Ahli fikih menyatakan, “Dunia adalah hutang yang harus ditebus.”
-Kalangan sufi mengatakan, “Yang menanam, ia adalah yang akan menuai.”
-Orang bijak berkata, “Hukum karma pasti berlaku.”
Rabu, 28 April 2010
Uswah Sang Pemimpin
Pemimpin Zuhud
*Saiful Anwar
Suatu ketika, Abu Bakar r.a. pergi ke pasar hendak menjual beberapa kain dagangannya. Saat itu beliau belum lama dibaiat menjadi khalifah. Di tengah perjalanan, beliau berjumpa dengan Umar ra. Umar pun menyapa, “Wahai Abu Bakar, engkau mau kemana?”
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata, “Jika engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan Kekhilafahan?”
Abu Bakar balik bertanya, “Kalau begitu, bagaimana aku menafkahi istri dan anakku?”
“Kalau begitu, mari kita menemui Abu Ubaidah. Dia akan menetapkan santunan untukmu dari Baitul Mal,” kata Umar.
Keduanya lalu pergi menemui Abu Ubaidah. Abu Ubaidah kemudian menetapkan santunan (bukan gaji, pen.) dari Baitul Mal sekadar memenuhi kebutuhan dasar Abu Bakar dan keluarganya untuk setiap bulannya.
Suatu ketika, istri Abu Bakar memohon kepada beliau, “Saya ingin sekali manisan.”
Beliau menjawab, “Aku tidak punya uang untuk membelinya.”
“Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit dari uang belanja tiap hari sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul,” kata istrinya.
Abu Bakar pun mengizinkannya. Selang beberapa hari, uang terkumpul. Istrinya lalu menyerahkan uang itu kepada beliau untuk membeli bahan-bahan manisan. Beliau kemudian berkata, “Dari pengalaman ini, aku tahu, ternyata kita mendapatkan santunan berlebihan dari Baitul Mal.”
Akhirnya, uang yang sudah terkumpul itu pun dikembalikan oleh beliau ke Baitul Mal, tidak jadi dibelikan bahan-bahan manisan. Selanjutnya, Khalifah Abu Bakar meminta Baitul Mal agar memotong santunannya sebanyak yang pernah dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Tak kalah dengan pendahulunya, Abu Bakar, Umar ra.—ketika menjadi khalifah dan mendapatkan santunan dari Baitul Mal—adalah seorang pemimpin yang sangat zuhud dan wara’.
Suatu ketika, beberapa Sahabat ra., di antaranya Ali, Utsman, Zubair, dan Thalhah berkumpul dalam suatu majelis untuk membincangkan usulan agar tunjangan untuk Khalifah Umar bin al-Khaththab ditambah, karena sepertinya tunjangan itu terlalu kecil. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang berani mengusulkan hal itu kepada Umar ra. Akhirnya, mereka bersepakat untuk meminta bantuan Hafshah, salah seorang istri Nabi saw., yang tidak lain adalah putri Khalifah Umar ra. Ummul Mukminin Hafshah kemudian menyampaikan usul tersebut kepada ayahnya, Umar ra. Mendengar itu, Khalifah Umar ra. bukannya senang; beliau tampak marah. Beliau berkata, “Siapa yang telah mengajukan usulan itu. Seandainya aku tahu nama-nama mereka, aku akan memukul wajah-wajah mereka!”
Khalifah Umar ra. kemudian berkata, “Sekarang, ceritakan kepadaku pakaian Nabi saw. yang paling baik yang ada di rumahmu.”
“Beliau memiliki sepasang pakaian berwarna merah yang dipakai setiap hari Jumat dan ketika menerima tamu,” jawab Hafshah.
Umar bertanya lagi, “Makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasulullah saw. di rumahmu?”
“Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak…,” jawab Hafshah.
“Alas tidur apa yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah saw. di rumahmu?” tanya Umar lagi.
“Sehelai kain, yang pada musim panas dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh untuk alas tidurnya dan separuh lagi untuk selimut,” jawab Hafshah lagi.
Khalifah Umar ra. lalu berkata, “Sekarang, pergilah. Katakan kepada mereka, Rasulullah saw. telah mencontohkan pola hidup sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi meraih kebahagiaan akhirat. Aku tentu akan mengikuti teladan beliau….”
Dua fragmen di atas, jika dibayangkan pada masa kini, di tengah-tengah sistem kehidupan sekular dan serba materialistis, rasanya mustahil terjadi. Namun, itulah yang pernah terjadi dalam sejarah ketika kehidupan Islam diterapkan; ketika sistem pemerintahan Islam ditegakkan; dan ketika syariat dan nilai-nilai Islam diamalkan oleh para penguasa Muslim. Bahkan, dalam sejarah pemerintahan Islam, kehidupan zuhud sering menjadi pilihan para khalifah kaum Muslim. Ingat, mereka adalah para kepala Negara Islam, yang mewarisi wilayah kekuasaan yang sangat luas. Selama masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin saja, wilayah kekuasaan Islam adalah mencakup seluruh Jazirah Arab dan sebagian Afrika. Artinya, kalau mau, sangat mudah bagi khalifah manapun, dengan kekuasaan yang sangat besar itu, bergelimang dalam kemewahan. Namun, kehidupan zuhud justru menjadi pilihan utama umumnya para khalifah kaum Muslim yang salih.
Disarikan dari kitab ath-Thabaqat
*Saiful Anwar
Suatu ketika, Abu Bakar r.a. pergi ke pasar hendak menjual beberapa kain dagangannya. Saat itu beliau belum lama dibaiat menjadi khalifah. Di tengah perjalanan, beliau berjumpa dengan Umar ra. Umar pun menyapa, “Wahai Abu Bakar, engkau mau kemana?”
“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.
Umar berkata, “Jika engkau sibuk dengan perdaganganmu, lalu bagaimana dengan urusan Kekhilafahan?”
Abu Bakar balik bertanya, “Kalau begitu, bagaimana aku menafkahi istri dan anakku?”
“Kalau begitu, mari kita menemui Abu Ubaidah. Dia akan menetapkan santunan untukmu dari Baitul Mal,” kata Umar.
Keduanya lalu pergi menemui Abu Ubaidah. Abu Ubaidah kemudian menetapkan santunan (bukan gaji, pen.) dari Baitul Mal sekadar memenuhi kebutuhan dasar Abu Bakar dan keluarganya untuk setiap bulannya.
Suatu ketika, istri Abu Bakar memohon kepada beliau, “Saya ingin sekali manisan.”
Beliau menjawab, “Aku tidak punya uang untuk membelinya.”
“Kalau engkau setuju, saya akan menyisihkan sedikit dari uang belanja tiap hari sehingga dalam beberapa hari uang akan terkumpul,” kata istrinya.
Abu Bakar pun mengizinkannya. Selang beberapa hari, uang terkumpul. Istrinya lalu menyerahkan uang itu kepada beliau untuk membeli bahan-bahan manisan. Beliau kemudian berkata, “Dari pengalaman ini, aku tahu, ternyata kita mendapatkan santunan berlebihan dari Baitul Mal.”
Akhirnya, uang yang sudah terkumpul itu pun dikembalikan oleh beliau ke Baitul Mal, tidak jadi dibelikan bahan-bahan manisan. Selanjutnya, Khalifah Abu Bakar meminta Baitul Mal agar memotong santunannya sebanyak yang pernah dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Tak kalah dengan pendahulunya, Abu Bakar, Umar ra.—ketika menjadi khalifah dan mendapatkan santunan dari Baitul Mal—adalah seorang pemimpin yang sangat zuhud dan wara’.
Suatu ketika, beberapa Sahabat ra., di antaranya Ali, Utsman, Zubair, dan Thalhah berkumpul dalam suatu majelis untuk membincangkan usulan agar tunjangan untuk Khalifah Umar bin al-Khaththab ditambah, karena sepertinya tunjangan itu terlalu kecil. Namun, tidak seorang pun di antara mereka yang berani mengusulkan hal itu kepada Umar ra. Akhirnya, mereka bersepakat untuk meminta bantuan Hafshah, salah seorang istri Nabi saw., yang tidak lain adalah putri Khalifah Umar ra. Ummul Mukminin Hafshah kemudian menyampaikan usul tersebut kepada ayahnya, Umar ra. Mendengar itu, Khalifah Umar ra. bukannya senang; beliau tampak marah. Beliau berkata, “Siapa yang telah mengajukan usulan itu. Seandainya aku tahu nama-nama mereka, aku akan memukul wajah-wajah mereka!”
Khalifah Umar ra. kemudian berkata, “Sekarang, ceritakan kepadaku pakaian Nabi saw. yang paling baik yang ada di rumahmu.”
“Beliau memiliki sepasang pakaian berwarna merah yang dipakai setiap hari Jumat dan ketika menerima tamu,” jawab Hafshah.
Umar bertanya lagi, “Makanan apa yang paling lezat yang pernah dimakan oleh Rasulullah saw. di rumahmu?”
“Roti yang terbuat dari tepung kasar yang dicelupkan ke dalam minyak…,” jawab Hafshah.
“Alas tidur apa yang paling baik yang pernah digunakan Rasulullah saw. di rumahmu?” tanya Umar lagi.
“Sehelai kain, yang pada musim panas dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh untuk alas tidurnya dan separuh lagi untuk selimut,” jawab Hafshah lagi.
Khalifah Umar ra. lalu berkata, “Sekarang, pergilah. Katakan kepada mereka, Rasulullah saw. telah mencontohkan pola hidup sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada demi meraih kebahagiaan akhirat. Aku tentu akan mengikuti teladan beliau….”
Dua fragmen di atas, jika dibayangkan pada masa kini, di tengah-tengah sistem kehidupan sekular dan serba materialistis, rasanya mustahil terjadi. Namun, itulah yang pernah terjadi dalam sejarah ketika kehidupan Islam diterapkan; ketika sistem pemerintahan Islam ditegakkan; dan ketika syariat dan nilai-nilai Islam diamalkan oleh para penguasa Muslim. Bahkan, dalam sejarah pemerintahan Islam, kehidupan zuhud sering menjadi pilihan para khalifah kaum Muslim. Ingat, mereka adalah para kepala Negara Islam, yang mewarisi wilayah kekuasaan yang sangat luas. Selama masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin saja, wilayah kekuasaan Islam adalah mencakup seluruh Jazirah Arab dan sebagian Afrika. Artinya, kalau mau, sangat mudah bagi khalifah manapun, dengan kekuasaan yang sangat besar itu, bergelimang dalam kemewahan. Namun, kehidupan zuhud justru menjadi pilihan utama umumnya para khalifah kaum Muslim yang salih.
Disarikan dari kitab ath-Thabaqat
Sabtu, 24 April 2010
Surat dari Anak untuk Ayah Tercinta
Suatu malam di suatu peristiwa, saat harapan terdepak oleh buai renungan. Terlintas dalam guliran waktu, kisah nyata di kehidupanku. Diiringi tembang kenangan Ebit G Ade, terasa semakin menderu ingatanku akan sosok ayah yang kucinta. Kini beliau terbaring lunglai di atas dipan tua. Betapa besar pengorbanannya: untuk ibu, aku, dan saudara-saudariku serta adik-adiknya. Begitu tulus kasih sayang dan perjuangannya.
Beliau ingin anak-anaknya kelak—terutama aku—mampu meneruskan sejarahnya, menyambung ceritanya yang sampai kini masih berada di medio naskah. Keinginannnya belum sampan berdayung, belum rampung niatan tulusnya. Semua itu, karena kami anak-anaknya terlalu banyak permintaan, terlalu tamak berkeinginan. Memang jika ditelusuri lebih dalam semua adalah misteri Ilahi, manusia hanya mampu berencana dan berusaha.
Ayah adalah pekerja keras. Dia membangun segala ketentraman dan kecukupan di rumah ini dari nol di titik nadzir hingga menjadi seperti saat ini. Sesuatu yang kami rasa sudah lebih dari cukup dan sangat membahagiakan.
Aku merasa sangat berdosa ketika teringat ayahku pulang kerja dengan bulir-bulir peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Bukan sambutan ramah dan salam takdim yang aku berika, apalagi secangkir teh hangat, melainkan rengekan untuk dibelikan ini dan itu.
Beliau ingin anak-anaknya kelak—terutama aku—mampu meneruskan sejarahnya, menyambung ceritanya yang sampai kini masih berada di medio naskah. Keinginannnya belum sampan berdayung, belum rampung niatan tulusnya. Semua itu, karena kami anak-anaknya terlalu banyak permintaan, terlalu tamak berkeinginan. Memang jika ditelusuri lebih dalam semua adalah misteri Ilahi, manusia hanya mampu berencana dan berusaha.
Ayah adalah pekerja keras. Dia membangun segala ketentraman dan kecukupan di rumah ini dari nol di titik nadzir hingga menjadi seperti saat ini. Sesuatu yang kami rasa sudah lebih dari cukup dan sangat membahagiakan.
Aku merasa sangat berdosa ketika teringat ayahku pulang kerja dengan bulir-bulir peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Bukan sambutan ramah dan salam takdim yang aku berika, apalagi secangkir teh hangat, melainkan rengekan untuk dibelikan ini dan itu.
Malang Kotaku
MALANG; PESONA ASIA TENGGARA DI PULAU JAWA
MALANG; PARIS OF JAVA
Kota Malang pernah disebut “kota terindah se Asia Tenggara”? Kondisi alam yang indah, iklim yang sejuk, dan kota yang bersih, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ngasih julukan “Paris of Java” ato kota Paris-nya pulau Jawa. Wah…. beneran nih….?
Emang sulit sich bayangin kota yang tampak biasa-biasa ini pernah termasyhur keindahannya. Paling-paling orang nunjuk sepanjang jalan Ijen yang ngebuktiin legenda Kota Malang dan sampe’ kini masih betah menghuni hati ‘n benak banyak orang.
Catatan sejarah juga ngebuktiin kalo di kota Malang pernah berdiri kerajaan besar seperti Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, dan Mataram. Bahkan Kota Malang pernah masuk nominasi Ibukota Negara Republik Indonesia.
Asal Usul Kota Malang
Singosari mewarisi kekayaan sejarah yang cukup banyak. Pada tahun 1222 M., di situ berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin raja kontroversial, Ken Arok. Cuman, waktu itu nama kota Malang belum ada. Maklum, Malang merupakan nama yang diambil dari sebutan kerajaan yang dipimpin Raja Gajayana, dan berpusat di wilayah Dinoyo.
Penahbisan hari kelahiran Kota Malang dan penetapannya sebagai “Kota Praja” baru terlaksana pada 1 April 1914 M. Saat itu, dalam lambang Kota Malang tertulis sesanti berbunyi “MALANG KUCECWARA” yang berarti "Tuhan menghancurkan yang batil dan menegakkan yang baik." Sesanti itu disahkan sebagai semboyan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang.
Daerah Malang dan sekitarnya, termasuk Singosari, merupakan pusat kegiatan politik dan budaya sejak tahun 760 s/d tahun 1414 M. Hal ini berdasarkan tulisan batu (prasasti) di Kecamatan Dinoyo.
Perkembangan Kota Malang
Kota Malang mengalami perkembangan setelah datangnya pemerintah kolonial Belanda. Fasilitas umum dibangun untuk memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif itu masih kerasa sampe’ sekarang. Misalnya Ijen Boulevard dan kawasan di sekitarnya, hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya. Sementara penduduk pribumi kudu puas tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Ironis banget ya….! Sekarang kawasan Ijen bagai monumen yang menyimpan misteri dan seringkali mengundang keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana untuk bernostalgia.
Sejak adanya kereta api pada taon 1879, kota Malang berkembang pesat. Berbagai kebutuhan masyarakat makin meningkat. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah; daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali; lahan untuk bercocok tanam disulap jadi area perumahan dan pabrik industri.
Sejalan perkembangan di atas, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan pemukiman meningkat di luar kemampuan pemerintah. Sementara itu, tingkat ekonomi kaum urbanis yang sangat terbatas, mengakibatkan timbulnya pemukiman-pemukiman liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah perdagangan, di sepanjang jalur hijau, sekitar sungai, rel kereta api, dan lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan. Tak lama kemudian perkampungan itu ‘diresmikan’ jadi perkampungan.
PENDUDUK DAN BRAND IMAGE KOTA MALANG
Masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, atraktif, dan bangga dengan identitasnya. Mereka mendirikan macem-macem komunitas – yang nggak cuma beken di dunia bola aja – seperti Arek Malang (AREMA), KeraNgalam, ato Laskar Ken Arok. Kalian tentunya pernah dengar nama komunitas yang beken itu kan. Kalo nggak percaya, coba lo pelototin jalanan di kota Malang, pasti elo temuin syal, stiker, and kaos yang bertuliskan AREMA ato KERANGALAM. Keduanya udah jadi brand image-nya kota Malang.
Penduduk kota Malang berasal dari suku Jawa, Madura, sebagian kecil keturunan Arab dan Cina. Walau gitu, mereka sangat akrab dan kompak. Fanatismenya patut diacungi jempol. Mereka gak pernah menyoal asal-usul atau ras, suku, apalagi agama. Mereka tetep saling menghargai dan menghormati privasi masing-masing. Asyik bener ya……!
Sebagian besar masyarakat Malang adalah pemeluk Islam, kemudian Kristen, Katolik, dan sebagian kecil Hindu serta Budha. Umat beragama di Kota Malang terkenal rukun. Tempat-tempat ibadah banyak yang udah berdiri sejak zaman kolonial. Sebut aja Masjid Jami’ (Masjid Agung) yang lokasinya pas di sebelah barat alun-alun kota, gereja ……………. yang sampe’ kini udah ngalami beberapa renovasi. Uniknya, bangunan bersejarah itu gak direnovasi total, paling banter cuma desain interior ato pemandangan di sekelilingnya doang.
Bukan cuma itu, kota Malang juga terkenal dengan Kota Pendidikan. Sebab, kota malang merupakan pusat pendidikan maju dengan banyak Universitas yang terkenal seantero negeri seperti Universitas Brawijaya (UNIBRAW), Universitas Muhammadiyah Malang (UNMU/UMM), STIE Malangkucecwara, dan Ma’had Aly Al-Hikam yang diasuh K.H. Hasyim Muzadi.
Bahasa Jawa dialek Jawa Timuran dan bahasa Madura adalah bahasa sehari-hari masyarakat Malang. Gaya bahasa di Malang terkenal kaku tanpa unggah-ungguh sebagaimana bahasa Jawa kasar umumnya. Hal ini menunjukkan sikap masyarakatnya yang tegas, lugas, dan tidak mengenal basa-basi. Anak mudanya punya dialek khas yang disebut 'boso walikan', yaitu cara pengucapan kata secara terbalik. Contohnya adalah Arek Malang menjadi KeraNgalam, wisata Mendit menjadi Tindem, ato Madura menjadi Arodam. Makanya, jangan heran kalo elo denger kalimat asing yang diucapin warga Malang.
Penutup
Sekarang, masyarakat bisa dengan tenang mengunjungi tempat bersejarah. Jika tidak paham, bisa bertanya pada juru kunci di tempat-tempat tersebut. Dengan senang hati, para juru kunci itu akan menceritakan sejarah. Bahkan, kalau tidak sempat mendengar cerita, bisa juga membawa buku ringkasan sejarah. Tentunya dengan mengganti ongkos cetak.
(Saiful Anwar/Nasyith)
Referensi:
(Prof. Drs. S. Wojowasito dalam Sejarah dan Asal Mula Kota Malang, Radar Malang, 02 Jan 2008/ Majalah Araya News, April-Mei 2004/ Ensiklopedi Indonesia/ Kunjungan)
Data Empiris
1. Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota
2. Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
3. Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
4. Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
5. 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
6. 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
7. 21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
8. 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
9. 2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
10. 1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.
GELAR YANG DISANDANG KOTA MALANG
1. Paris of Java, Karena kondisi alamnya yang indah, iklimnya yang sejuk dan kotanya yang bersih, bagaikan kota “PARIS” nya Jawa Timur.
2. Kota Pesiar, Kondisi alam yang elok menawan, bersih, sejuk, tenang dan fasilitas wisata yang memadai merupakan ciri-ciri sebuah kota tempat berlibur
3. Kota Peristirahatan, Suasana Kota yang damai sangat sesuai untuk beristirahan, terutama bagi orang dari luar kota Malang, baik sebagai turis maupun dalam rangka mengunjungi keluarga/famili.
4. Kota Pendidikan, Situasi kota yang tenang, penduduknya ramah, harga makanan yang relatif murah dan fasilitas pendidikan yang memadai sangat cocok untuk belajar/menempuh pendidikan.
5. Kota Militer, Terpilih sebagai kota Kesatrian. Di Kota Malang ini didirikan tempat pelatihan militer, asrama dan mess perwira disekitar lapangan Rampal., dan pada jaman Jepang dibangun lapangan terbang “Sundeng” di kawasan Perumnas sekarang.
7. Kota Bunga, Cita-cita yang merebak di hati setiap warga kota senantiasa menyemarakkan sudut kota dan tiap jengkal tanah warga dengan warna warni bunga
MALANG; PARIS OF JAVA
Kota Malang pernah disebut “kota terindah se Asia Tenggara”? Kondisi alam yang indah, iklim yang sejuk, dan kota yang bersih, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda ngasih julukan “Paris of Java” ato kota Paris-nya pulau Jawa. Wah…. beneran nih….?
Emang sulit sich bayangin kota yang tampak biasa-biasa ini pernah termasyhur keindahannya. Paling-paling orang nunjuk sepanjang jalan Ijen yang ngebuktiin legenda Kota Malang dan sampe’ kini masih betah menghuni hati ‘n benak banyak orang.
Catatan sejarah juga ngebuktiin kalo di kota Malang pernah berdiri kerajaan besar seperti Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, dan Mataram. Bahkan Kota Malang pernah masuk nominasi Ibukota Negara Republik Indonesia.
Asal Usul Kota Malang
Singosari mewarisi kekayaan sejarah yang cukup banyak. Pada tahun 1222 M., di situ berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin raja kontroversial, Ken Arok. Cuman, waktu itu nama kota Malang belum ada. Maklum, Malang merupakan nama yang diambil dari sebutan kerajaan yang dipimpin Raja Gajayana, dan berpusat di wilayah Dinoyo.
Penahbisan hari kelahiran Kota Malang dan penetapannya sebagai “Kota Praja” baru terlaksana pada 1 April 1914 M. Saat itu, dalam lambang Kota Malang tertulis sesanti berbunyi “MALANG KUCECWARA” yang berarti "Tuhan menghancurkan yang batil dan menegakkan yang baik." Sesanti itu disahkan sebagai semboyan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Malang.
Daerah Malang dan sekitarnya, termasuk Singosari, merupakan pusat kegiatan politik dan budaya sejak tahun 760 s/d tahun 1414 M. Hal ini berdasarkan tulisan batu (prasasti) di Kecamatan Dinoyo.
Perkembangan Kota Malang
Kota Malang mengalami perkembangan setelah datangnya pemerintah kolonial Belanda. Fasilitas umum dibangun untuk memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif itu masih kerasa sampe’ sekarang. Misalnya Ijen Boulevard dan kawasan di sekitarnya, hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya. Sementara penduduk pribumi kudu puas tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Ironis banget ya….! Sekarang kawasan Ijen bagai monumen yang menyimpan misteri dan seringkali mengundang keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana untuk bernostalgia.
Sejak adanya kereta api pada taon 1879, kota Malang berkembang pesat. Berbagai kebutuhan masyarakat makin meningkat. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah; daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali; lahan untuk bercocok tanam disulap jadi area perumahan dan pabrik industri.
Sejalan perkembangan di atas, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan pemukiman meningkat di luar kemampuan pemerintah. Sementara itu, tingkat ekonomi kaum urbanis yang sangat terbatas, mengakibatkan timbulnya pemukiman-pemukiman liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah perdagangan, di sepanjang jalur hijau, sekitar sungai, rel kereta api, dan lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan. Tak lama kemudian perkampungan itu ‘diresmikan’ jadi perkampungan.
PENDUDUK DAN BRAND IMAGE KOTA MALANG
Masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, atraktif, dan bangga dengan identitasnya. Mereka mendirikan macem-macem komunitas – yang nggak cuma beken di dunia bola aja – seperti Arek Malang (AREMA), KeraNgalam, ato Laskar Ken Arok. Kalian tentunya pernah dengar nama komunitas yang beken itu kan. Kalo nggak percaya, coba lo pelototin jalanan di kota Malang, pasti elo temuin syal, stiker, and kaos yang bertuliskan AREMA ato KERANGALAM. Keduanya udah jadi brand image-nya kota Malang.
Penduduk kota Malang berasal dari suku Jawa, Madura, sebagian kecil keturunan Arab dan Cina. Walau gitu, mereka sangat akrab dan kompak. Fanatismenya patut diacungi jempol. Mereka gak pernah menyoal asal-usul atau ras, suku, apalagi agama. Mereka tetep saling menghargai dan menghormati privasi masing-masing. Asyik bener ya……!
Sebagian besar masyarakat Malang adalah pemeluk Islam, kemudian Kristen, Katolik, dan sebagian kecil Hindu serta Budha. Umat beragama di Kota Malang terkenal rukun. Tempat-tempat ibadah banyak yang udah berdiri sejak zaman kolonial. Sebut aja Masjid Jami’ (Masjid Agung) yang lokasinya pas di sebelah barat alun-alun kota, gereja ……………. yang sampe’ kini udah ngalami beberapa renovasi. Uniknya, bangunan bersejarah itu gak direnovasi total, paling banter cuma desain interior ato pemandangan di sekelilingnya doang.
Bukan cuma itu, kota Malang juga terkenal dengan Kota Pendidikan. Sebab, kota malang merupakan pusat pendidikan maju dengan banyak Universitas yang terkenal seantero negeri seperti Universitas Brawijaya (UNIBRAW), Universitas Muhammadiyah Malang (UNMU/UMM), STIE Malangkucecwara, dan Ma’had Aly Al-Hikam yang diasuh K.H. Hasyim Muzadi.
Bahasa Jawa dialek Jawa Timuran dan bahasa Madura adalah bahasa sehari-hari masyarakat Malang. Gaya bahasa di Malang terkenal kaku tanpa unggah-ungguh sebagaimana bahasa Jawa kasar umumnya. Hal ini menunjukkan sikap masyarakatnya yang tegas, lugas, dan tidak mengenal basa-basi. Anak mudanya punya dialek khas yang disebut 'boso walikan', yaitu cara pengucapan kata secara terbalik. Contohnya adalah Arek Malang menjadi KeraNgalam, wisata Mendit menjadi Tindem, ato Madura menjadi Arodam. Makanya, jangan heran kalo elo denger kalimat asing yang diucapin warga Malang.
Penutup
Sekarang, masyarakat bisa dengan tenang mengunjungi tempat bersejarah. Jika tidak paham, bisa bertanya pada juru kunci di tempat-tempat tersebut. Dengan senang hati, para juru kunci itu akan menceritakan sejarah. Bahkan, kalau tidak sempat mendengar cerita, bisa juga membawa buku ringkasan sejarah. Tentunya dengan mengganti ongkos cetak.
(Saiful Anwar/Nasyith)
Referensi:
(Prof. Drs. S. Wojowasito dalam Sejarah dan Asal Mula Kota Malang, Radar Malang, 02 Jan 2008/ Majalah Araya News, April-Mei 2004/ Ensiklopedi Indonesia/ Kunjungan)
Data Empiris
1. Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota
2. Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
3. Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
4. Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
5. 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
6. 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
7. 21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
8. 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
9. 2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
10. 1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.
GELAR YANG DISANDANG KOTA MALANG
1. Paris of Java, Karena kondisi alamnya yang indah, iklimnya yang sejuk dan kotanya yang bersih, bagaikan kota “PARIS” nya Jawa Timur.
2. Kota Pesiar, Kondisi alam yang elok menawan, bersih, sejuk, tenang dan fasilitas wisata yang memadai merupakan ciri-ciri sebuah kota tempat berlibur
3. Kota Peristirahatan, Suasana Kota yang damai sangat sesuai untuk beristirahan, terutama bagi orang dari luar kota Malang, baik sebagai turis maupun dalam rangka mengunjungi keluarga/famili.
4. Kota Pendidikan, Situasi kota yang tenang, penduduknya ramah, harga makanan yang relatif murah dan fasilitas pendidikan yang memadai sangat cocok untuk belajar/menempuh pendidikan.
5. Kota Militer, Terpilih sebagai kota Kesatrian. Di Kota Malang ini didirikan tempat pelatihan militer, asrama dan mess perwira disekitar lapangan Rampal., dan pada jaman Jepang dibangun lapangan terbang “Sundeng” di kawasan Perumnas sekarang.
7. Kota Bunga, Cita-cita yang merebak di hati setiap warga kota senantiasa menyemarakkan sudut kota dan tiap jengkal tanah warga dengan warna warni bunga
Sahabat
Sahabat…..
Dulu, ada seorang sahabat yang sangat kukagumi pekertinya. Kami lama tidak berjumpa, bahkan kabarnya sekarang, aku tidak tahu. Tapi masih segar dalam ingatanku nasihat-nasihatnya, karena cara yang ia gunakan membuatku betah untuk terus menyimak, tidak ada kesan menggurui. Untuk menunjukkan kebaikan ia lebih suka bercerita, jauh dari teguran apalagi memarahi. Tidak jarang ia ceritakan pengalamannya dengan kedua orang tuanya.
Dia pernah bercerita tentang nasihat abahnya.
Kata abahnya: “Nak, setelah abah mengantarkanmu ke pesantren, pulangnya abah naik kereta. Di ujung gerbong kereta tua yang abah naiki, abah bertemu tiga pemuda dengan barang bawaan yang banyak, mereka tampak letih dan peluhnya mengucur deras. Kemudian dengan cara yang sopan, salah satu diantara mereka memohon diri untuk duduk di sebelahku. Lama kelamaan abah mulai akrab dengan mereka, kami saling tanya, hingga banyak tahu tentang masing-masing. Abah terkesan dengan persahabatan mereka, terutama saat mereka akan turun di stasiun karena jarak tempuh tidak mengizinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan dengan kereta. Abah lihat, mereka saling mendahului untuk membawa barang yang paling berat.
Dari pengalaman tersebut, ingin sekali aku sampaikan beberapa patah kata untukmu yang kuharapkan dapat menjadi azimat yang memberikan warna indah bagi hidupmu. Senang hatiku karena masih kutemukan seseorang yang rela korbankan waktu untuk mendengarkan perkataanku. Hal itu membuatku semakin bergairah untuk bercerita kepadamu tentang mutiara-mutiara kehidupan yang ku kumpulkan di sepanjang perjalananku. Kali ini ijinkanlah aku bertutur tentang arti sahabat dan persahabatan.
Anakku, tidak ada seekor burungpun yang terbang jauh apabila ia terbang sendirian. Begitu juga tak seorangpun dapat mencapai tujuan-tujuan besar dalam hidupnya apabila ia mencoba mencapainya seorang diri, tanpa sahabat di sekelilingnya. Sahabat adalah orang yang dengannya engkau berani menjadi dirimu sendiri, yang dengannya engkau berani berkata, ‘Inilah Aku’. Sungguh, sahabat adalah bagian penting dari hidupmu. Orang bijak mengatakan, ‘Sahabat adalah dorongan ketika engkau berhenti, sepatah kata ketika engkau kesepian, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, senyuman sabar ketika engkau berduka, juga lagu gembira ketika engkau merasa bahagia. Bahkan, sahabat adalah orang yang menghentikanmu ketika engkau meluncur jatuh. Sahabat adalah orang yang siap mendengar ketika engkau ingin mengatakan sesuatu, orang yang peduli dengan masalahmu, dan juga tempat engkau berbagi rasa.
Tentu senang hatiku jika engkau mempunyai banyak sahabat. Tapi yang paling kusukai dari dirimu adalah bahwa engkau senantiasa berusaha menjadikan dirimu sahabat bagi orang lain. Tahukah engkau anakku, begitu terharunya aku ketika masa kecilmu banyak kau isi dengan menjadikan dirimu sahabat bagi anak-anak di sebelah rumah kita, serta sahabat bagi binatang-binatang peliharaan kita? Waktu itu aku merasa bahagia sekali karena engkau nikmati kedamaian dan kebahagiaan bersama sahabat-sahabatmu. Meskipun begitu, sahabatmu yang terpenting adalah dia yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan bagimu, dimana kebaikan adalah kebenaran yang kita fahami dengan sejelas-jelasnya, dan kebahagiaan sejati adalah rasa senang yang dibangkitkan oleh hasrat yang tinggi pada kebenaran. Dialah yang menghendaki keselamatan bagimu di dunia dan di akhirat kelak. Maka jadikanlah dirimu sahabat terpenting, kalau mungkin bagi setiap orang.
Dan mengenai arti Persahabatan, aku hanya ingin mengatakan bahwa Persahabatan adalah intan-berlian yang tak ternilai harganya. Tak dapat dijual, tak dapat dibeli, dan juga tak mungkin dipinjamkan, karena di dalamnya terkandung kehendak untuk saling menghormati, saling mencintai, dan saling memberi.
Baiklah anakku, kucukupkan ceritaku sampai di sini, dengan harapan semoga engkau semakin arif, semakin bijaksana, dan semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mencintaimu selalu.”
Saat aku mendengarkan sepenggal cerita sahabatku dengan abahnya di atas, aku belum menemukan nilai lebih yang patut diistimewakan, atau menganggapnya biasa-biasa saja, hanya aku tidak keberatan untuk menyimaknya. Setelah sejenak aku renungi, baru kutemukan rangkaian hikmah yang tersusun indah dan menukik kalbuku. Aku mulai terkesan dengan caranya yang sangat halus dalam membimbingku; tanpa teguran, sindiran, menyalahkan, cemoohan, apalagi permusuhan.
Oleh karena itu, menyampaikan kebaikan tidaklah cukup dengan hanya berbekal menghafal dalil dan tendensi yang kuat. Karena sering kali pesan baik dan berbobot yang disampaikan dengan bahasa formal, berbentuk ajaran dan ajakan terasa kering dan menimbulkan kepenatan.
Dulu, ada seorang sahabat yang sangat kukagumi pekertinya. Kami lama tidak berjumpa, bahkan kabarnya sekarang, aku tidak tahu. Tapi masih segar dalam ingatanku nasihat-nasihatnya, karena cara yang ia gunakan membuatku betah untuk terus menyimak, tidak ada kesan menggurui. Untuk menunjukkan kebaikan ia lebih suka bercerita, jauh dari teguran apalagi memarahi. Tidak jarang ia ceritakan pengalamannya dengan kedua orang tuanya.
Dia pernah bercerita tentang nasihat abahnya.
Kata abahnya: “Nak, setelah abah mengantarkanmu ke pesantren, pulangnya abah naik kereta. Di ujung gerbong kereta tua yang abah naiki, abah bertemu tiga pemuda dengan barang bawaan yang banyak, mereka tampak letih dan peluhnya mengucur deras. Kemudian dengan cara yang sopan, salah satu diantara mereka memohon diri untuk duduk di sebelahku. Lama kelamaan abah mulai akrab dengan mereka, kami saling tanya, hingga banyak tahu tentang masing-masing. Abah terkesan dengan persahabatan mereka, terutama saat mereka akan turun di stasiun karena jarak tempuh tidak mengizinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan dengan kereta. Abah lihat, mereka saling mendahului untuk membawa barang yang paling berat.
Dari pengalaman tersebut, ingin sekali aku sampaikan beberapa patah kata untukmu yang kuharapkan dapat menjadi azimat yang memberikan warna indah bagi hidupmu. Senang hatiku karena masih kutemukan seseorang yang rela korbankan waktu untuk mendengarkan perkataanku. Hal itu membuatku semakin bergairah untuk bercerita kepadamu tentang mutiara-mutiara kehidupan yang ku kumpulkan di sepanjang perjalananku. Kali ini ijinkanlah aku bertutur tentang arti sahabat dan persahabatan.
Anakku, tidak ada seekor burungpun yang terbang jauh apabila ia terbang sendirian. Begitu juga tak seorangpun dapat mencapai tujuan-tujuan besar dalam hidupnya apabila ia mencoba mencapainya seorang diri, tanpa sahabat di sekelilingnya. Sahabat adalah orang yang dengannya engkau berani menjadi dirimu sendiri, yang dengannya engkau berani berkata, ‘Inilah Aku’. Sungguh, sahabat adalah bagian penting dari hidupmu. Orang bijak mengatakan, ‘Sahabat adalah dorongan ketika engkau berhenti, sepatah kata ketika engkau kesepian, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, senyuman sabar ketika engkau berduka, juga lagu gembira ketika engkau merasa bahagia. Bahkan, sahabat adalah orang yang menghentikanmu ketika engkau meluncur jatuh. Sahabat adalah orang yang siap mendengar ketika engkau ingin mengatakan sesuatu, orang yang peduli dengan masalahmu, dan juga tempat engkau berbagi rasa.
Tentu senang hatiku jika engkau mempunyai banyak sahabat. Tapi yang paling kusukai dari dirimu adalah bahwa engkau senantiasa berusaha menjadikan dirimu sahabat bagi orang lain. Tahukah engkau anakku, begitu terharunya aku ketika masa kecilmu banyak kau isi dengan menjadikan dirimu sahabat bagi anak-anak di sebelah rumah kita, serta sahabat bagi binatang-binatang peliharaan kita? Waktu itu aku merasa bahagia sekali karena engkau nikmati kedamaian dan kebahagiaan bersama sahabat-sahabatmu. Meskipun begitu, sahabatmu yang terpenting adalah dia yang menghendaki kebaikan dan kebahagiaan bagimu, dimana kebaikan adalah kebenaran yang kita fahami dengan sejelas-jelasnya, dan kebahagiaan sejati adalah rasa senang yang dibangkitkan oleh hasrat yang tinggi pada kebenaran. Dialah yang menghendaki keselamatan bagimu di dunia dan di akhirat kelak. Maka jadikanlah dirimu sahabat terpenting, kalau mungkin bagi setiap orang.
Dan mengenai arti Persahabatan, aku hanya ingin mengatakan bahwa Persahabatan adalah intan-berlian yang tak ternilai harganya. Tak dapat dijual, tak dapat dibeli, dan juga tak mungkin dipinjamkan, karena di dalamnya terkandung kehendak untuk saling menghormati, saling mencintai, dan saling memberi.
Baiklah anakku, kucukupkan ceritaku sampai di sini, dengan harapan semoga engkau semakin arif, semakin bijaksana, dan semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang mencintaimu selalu.”
Saat aku mendengarkan sepenggal cerita sahabatku dengan abahnya di atas, aku belum menemukan nilai lebih yang patut diistimewakan, atau menganggapnya biasa-biasa saja, hanya aku tidak keberatan untuk menyimaknya. Setelah sejenak aku renungi, baru kutemukan rangkaian hikmah yang tersusun indah dan menukik kalbuku. Aku mulai terkesan dengan caranya yang sangat halus dalam membimbingku; tanpa teguran, sindiran, menyalahkan, cemoohan, apalagi permusuhan.
Oleh karena itu, menyampaikan kebaikan tidaklah cukup dengan hanya berbekal menghafal dalil dan tendensi yang kuat. Karena sering kali pesan baik dan berbobot yang disampaikan dengan bahasa formal, berbentuk ajaran dan ajakan terasa kering dan menimbulkan kepenatan.
Langganan:
Komentar (Atom)
